ASPEK - ASPEK PERKEMBANGAN
PERILAKU DAN PRIBADI
OLEH :
1.Mohammad Ayyub Khant ( 10110131 )
2. Agung Budiono ( 10110084 )
I K I P P G R I B O J O N E G O R O
2011
KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah - Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat dikerjakan dengan lancar dan baik.
Makalah ini dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perkembangan Peserta Didik. Makalah ini dapat tersusun dengan baik karena tidak lepas dari bantuan semua pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Drs. H. Budi Irawanto, M. Pd. Selaku Rektor IKIP PGRI Bojonegoro Jawa Timur
2. Bapak Nurul Adib AF, S. Pd, M. Pd. Selaku Dosen Mata Kuliah Perkembangan Peserta Didik
3. Kepada teman - teman yang telah memberikan motivasi, bantuan baik langsung maupun tidak langsung sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini sampai selesai.
Sehubungan dengan adanya bantuan tersebut, kami berdoa semoga amal perbuatannya diterima Allah SWT dan dijadikan amal sholeh.
Walaupun makalah ini telah diselesaikan dengan baik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharap adanya kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi semua pihak yang membaca.
Blora, 3 Oktober 2011
ii
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik
A. Perkembangan Fisik
Pertumbuhan dan perkembangan dan fisik merupakan semua hal kapasitas anak untuk melakukan kegiatan olahraga tergantung struktur fisik dan bagaimana cara perkembangan mulai dari usia dini hingga dewasa. Pertumbuhan dan perkembangan fisik merupakan fisik secara kuantitatif dan fungsional seperti pada sistem syaraf, tulang dan otot.
1. Perkembangan Sistem Syaraf. Sistem saraf otak merupakan sistem pusat dan komunikasi bagi tubuh manusia. Sistem syaraf meliputi otak, sumsum tulang belakang, serta syaraf - syaraf ferifer. Melalui pembedaan dan penyatuan, sel akan berkembang dan membesar ,dilapisi jaringan lemak berwarna putih yang disebut myline yang memiliki fungsi untuk meningkatkan efektifitas transmisi rangsang syaraf dan juga sekaligus sebagai insulator terhadap rangsangan syaraf yang salah.
Cerebral Cortex adalah bagian otak yang berfungsi mengontrol respon gerak yang disadari serta diperlukan untuk penguasaan bahasa ,berpikir abstrak dan semua proses kogntif. Perkembangan ini hampir sempurna pada saat anak berusia 4 tahun.
Cerebblum merupakan bagian otak yang berkembang paling akhir dan berfungsi dalam control temporal ( timing ), pengaturan gerak, terampil yang disadari serta untuk mempertahankan keseimbngan tubuh. Fungsi ini disempurnakan oleh vestibular lainnya, dimana informasi datang akan di transmit ke berbagai otot yang bertanggung jawab untuk mempertahankan keseimbangan.
2. Perkembangan Tulang dan Berat Badan. Tulang memiliki fungi pada tubuh sebagai penyokong berat badan serta menyiapkan sistem gerak dan tuas untuk melakukan gerakan. Pada orang dewasa ada 206 tulang yang sangat kuat yang dikembangkan dari tulang lunak sampai menjadi mudah retak pada usia anak – anak dan remaja.
Percepatan dan pertumbuhan pada anak perempuan dimulai sejak usia 9 tahun dan mencapai puncaknya pada usia 12 atau 13 tahun. Jadi sedikit lebih tinggi dari pada anak laki laki yang berusia 12 sampai 14 tahun. Tetapi setelah ini anak laki –laki akan mulai lebihtumbuhlebih tinggi daripada anak perempuan.
2
3. PerkembanganOtot
Ada tiga jenis otot yaitu otot halus, jantung, dan rangka. Jaringan otot halus membangun bagian otot dari organ - organ internal dan berfungsi secara otomatis, otot jantung berfungsi tanpa sadar dibawah kendali otak. Sedangkan Otot rangka merupakan organ yang dapat berkontraksi secara sadar berdasarkan rangsangan dari otak - otak melalui syaraf - syaraf gerak yang mempengaruhi otot. Peningkatan ukuran otot secara normal oleh latihan dan obat - obatan disebut hipertrofi. Berat otot meningkat rata - rata 40 kali dari saat dilahirkan sampai usia dewasa Ini berarti bahwa anak usia 12 tahun memiliki jumlah rata - rata jaringan otot 2 kali lipat dari anak usia 6tahun.
B. Perkembangan Perilaku Psikomotorik
Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi dibandingkan dengan masa bayi. Anak - anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus ketrampilan - ketrampilan motorik, anak - anak terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak - anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll.
Beberapa perkembangan motorik (kasar maupun halus) selama periode ini, antara lain :
a). Anak Usia 5 Tahun
- Mampu melompat dan menari
- Menggambarkan orang yang terdiri dari kepala, lengan dan badan
- Dapat menghitung jari - jarinya
- Mendengar dan mengulang hal - hal penting dan mampu bercerita
- Mempunyai minat terhadap kata-kata baru beserta artinya
- Memprotes bila dilarang apa yang menjadi keinginannya
- Mampu membedakan besar dan kecil.
3
b). Anak Usia 6 Tahun
- Ketangkasan meningkat
- Melompat tali
- Bermain sepeda
- Mengetahui kanan dan kiri
- Mungkin bertindak menentang dan tidak sopan
- Mampu menguraikan objek-objek dengan gambar.
c). Anak Usia 7 Tahun
- Mulai membaca dengan lancar
- Cemas terhadap kegagalan
- Peningkatan minat pada bidang spiritual
- Kadang Malu atau sedih
d). Anak Usia 8 – 9 Tahun
- Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat
- Mampu menggunakan peralatan rumah tangga
- Ketrampilan lebih individual
- Ingin terlibat dalam sesuatu
- Menyukai kelompok dan mode
- Mencari teman secara aktif.
e). Anak Usia 10 Tahun – Seterusnya
- Perubahan sifat berkaitan dengan berubahnya postur tubuh yang berhubungan
dengan pubertas mulai tampak
4
- Mampu melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci, menjemur pakaian dll
- Adanya keinginan anak untuk menyenangkan dan membantu orang lain
- Mulai tertarik dengan lawan jenis.
2.2 Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif
A. Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa di tingkat pemula ( bayi) dapat dianggap semacam persiapan berbicara.
a. Pada bulan-bulan pertama, bayi hanya pandai menangis. Dalam hal ini tangisan bayi dianggap sebagai pernyataan rasa tidak senang.
b. Kemudian ia menangis dengan cara yang berbeda-beda menurut maksud yang hendak dinyatakannya.
c. Selanjutnya ia mengeluarkan bunyi ( suara - suara ) yang banyak ragamnya. tetapi bunyi-bunyi itu belum mempunyai arti , hanya untuk melatih pernapasan saja.
d. Menjelang usia pertengahan di tahu pertama, ia meniru suara-suara yang didengarkannya, kemudian mengulangi suara tersebut, tetapi bukan karna dia sudah mengerti apa yang dikatakan kepadanya.
Ada dua alasan mengapa bayi belum pandai berbicara: pertama, alat - alat bicaranya belum sempurna. Kedua, untuk dapat berbicara, ia memerlukan kemampuan berpikir yang belum dimiliki oleh anak bayi. Kemampuan berbicara dapat dikembangkan melalui belajar dan berkomunikasi dengan orang lain secara timbal balik.
Ditingkat pemula ( bayi ) tidak ada perbedaan perkembangan bahasa antara anak yang tuli dengan anak yang biasa. Anak tuli juga menyatakan perasaan tak senang dengan cara menangis. sedangkan rasa senangnya dinyatakan dengan berbagai macam suara raban, tetapi tingkat perkembangan bahasa yang selanjutnya tidak dialami olehnya. Ia tidak mampu mengulangi suara-suara rabannya dan suara orang lain. Jika ia nanti sudah besar, ia akan menjadi bisu.
5
Pada mulanya motif anak mempelajari bahasa adalah agar dapat memenuhi:
1. Keinginan untuk memperoleh informasi tentang lingkungannya, diri sendiri, dan kawan - kawannya ini terlihat pada anak usia 2 setengah - 3 tahun.
2. Memberi perintah dan menyatakan kemauannya.
3. Pergaulan sosial dengan orang lain.
4. Menyatakan pendapat dan ide - idenya.
Perkembangan bahasa seorang anak menurut Clara dan William Stern, ilmuan bangsa Jerman, dibagi dalam empat masa, yaitu: masa kalimat satu kata, masa memberi nama, masa kalimat tunggal dan masa kalimat majemuk.
1. Kalimat satu kata: satu tahun s.d satu tahun enam bulan
Dalam masa pertama ini seorang anak mulai mengeluarkan suara-suara raban yakni permainan dengan tenggorokan, mulut dan bibir supaya selaput suara menjadi lebih lembut. Selain itu di masa ini seorang anak sudah dapat menirukan suara-suara walaupun tidak begitu sama persis dengan bunyi aslinya. Di masa ini juga mulai terbentuknya satu kata. Anak sudah mulai bisa mengucapkan kata seperti “ibu” dan lainnya.
2. Masa memberi satu nama: satu setengah tahun s.d dua tahun
Dalam masa kedua ini terjadi masa apa itu, masa dimana mulai timbul suatu dorongan dalam diri seorang anak untuk mengetahui banyak hal. Inilah yang menyebabkan anak akan sering bertanya apa ini? apa itu? siapa ini? dan lainnya. Dan di masa ini kemampuan anak merangkai kata mulai meningkat. Dulu yang hanya bisa satu kata, bertambah menjadi dua kata, tiga kata hingga lebih sempurna.
3. Masa kalimat tunggal: dua tahun s.d setengah tahun.
Dalam masa ketiga ini terdapat usaha anak untuk dapat berbahasa dengan lebih baik dan sempurna. Anak mulai bisa menggunakan kalimat tunggal serta menggunakan awalan dan akhiran pada kata. Namun tak jarang anak membuat kata-kata baru yang lucu didengar dengan menggunakan caranya sendiri.
4. Masa kalimat majemuk : dua tahun enam bulan dan seterusnya.
Di tahap ini seorang anak sudah dapat mengucapkan kalimat yang lebih panjang dan sempurna,baik berupa kalimat majemuk dan berupa pertanyaan, sehingga susunan bahasanya terdengar lebih sempurna.
6
B. Perkembangan Perilaku Kognitif
Dalam keadaan normal, pada periode ini pikiran anak berkembang secara berangsur - angsur. Jika pada periode sebelumnya, daya pikir anak masih bersifat imajinatif dan egosentris, maka pada periode ini daya pikir anak sudah berkembang ke arah yang lebih konkrit, rasional dan objektif.
Daya ingatnya menjadi sangat kuat, sehingga anak benar-benar berada pada stadium belajar.
Menurut teori Piaget, pemikiran anak - anak usia sekolah dasar disebut pemikiran Operasional Konkrit (Concret Operational Thought), artinya aktivitas mental yang difokuskan pada objek – objek peristiwa nyata atau konkrit.
Dalam upaya memahami alam sekitarnya, mereka tidak lagi terlalu mengandalkan informasi yang bersumber dari pancaindera, karena ia mulai mempunyai kemampuan untuk membedakan apa yang tampak oleh mata dengan kenyataan sesungguhnya. Dalam masa ini, anak telah mengembangkan 3 macam proses yang disebut dengan operasi - operasi, yaitu :
1. Negasi (Negation), yaitu pada masa konkrit operasional, anak memahami hubungan -hubungan antara benda atau keadaan yag satu dengan benda atau keadaan yang lain.
2. Hubungan Timbal Balik (Resiprok), yaitu anak telah mengetahui hubungan sebab- akibatdalam suatu keadaan.
3. Identitas, yaitu anak sudah mampu mengenal satu persatu deretan benda-benda yang ada.
Operasi yang terjadi dalam diri anak memungkinkan pula untuk mengetahui suatu perbuatan tanpa melihat bahwa perbuatan tersebut ditunjukkan. Jadi, pada tahap ini anak telah memiliki struktur kognitif yang memungkinkanya dapat berfikir untuk melakukan suatu tindakan, tanpa ia sendiri bertindak secara nyata.
a. Perkembangan Memori
Selama periode ini, memori jangka pendek anak telah berkembang dengan baik. Akan tetapi, memori jangka panjang tidak terjadi banyak peningkatan dengan disertai adanya keterbatasan – keterbatasan. Untuk mengurangi keterbatasan tersebut, anak berusaha menggunakan strategi memori (memory strategy), yaitu merupakan perilaku disengaja yang digunakan untuk meningkatkan memori. Matlin (1994) menyebutkan 4 macam strategi memori yang penting, yaitu :
1. Rehearsal (Pengulangan) : Suatu strategi meningkatkan memori dengan cara mengulang berkali-kali informasi yang telah disampaikan.
7
2. Organization (Organisasi) : Pengelompokan dan pengkategorian sesuatu yang digunakan untuk meningkatkan memori. Seperti, anak SD sering mengingat nama-nama teman sekelasnya menurut susunan dimana mereka duduk dalam satu kelas.
3. Imagery (Perbandingan) : Membandingkan sesuatu dengan tipe dari karakteristik pembayangan dari seseorang.
4. Retrieval (Pemunculan Kembali) : Proses mengeluarkan atau mengangkat informasi dari tempat penyimpanan. Ketika suatu isyarat yang mungkin dapat membantu memunculkan kembali sebuah meori, mereka akan menggunakannya secara spontan.
Selain strategi-strategi memori diatas, terdapat hal lain yang mempengaruhi memori anak, seperti tingkat usia, sifat anak (termasuk sikap, kesehatan dan motivasi), serta pengetahuan yang diperoleh anak sebelumnya.
b. Perkembangan Pemikiran Kritis
Perkembangan Pemikiran Kritis yaitu pemahaman atau refleksi terhadap permasalahan secara mendalam, mempertahankan pikiran agar tetap terbuka, tidak mempercayai begitu saja informasi-informasi yang datang dari berbagai sumber serta mampu befikir secara reflektif dan evaluatif.
c. Perkembangan Kreativitas
Dalam tahap ini, anak-anak mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan, terutama lingkungan sekolah.
d. Perkembangan Bahasa
Selama masa anak-anak awal, perkembangan bahasa terus berlanjut. Perbendaharaan kosa kata dan cara menggunakan kalimat bertambah kompleks. Perkembangan ini terlihat dalam cara berfikir tentang kata-kata, struktur kalimat dan secara bertahap anak akan mulai menggunakan kalimat yang lebih singkat dan padat, serta dapat menerapkan berbagai aturan tata bahasa secara tepat.
8
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………...1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………….1
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………………2
2.1 Perkembangan Fisik dan Perilaku Psikomotorik……………………………...2
2.2 Perkembangan Bahasa dan Perilaku Kognitif…………………………………5
BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………………….9
BAB IV PENUTUP……………………………………………………………………….10
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………..11
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Setiap organisme, baik manusia maupun hewan, pasti mengalami peristiwa perkembangan selama hidupnya. Perkembangan ini meliputi seluruh bagian dengan keadaan yang dimiliki oleh organisasi tersebut, baik yang bersifat konkret maupun yang bersifat abstrak. Jadi, arti peristiwa perkembangan itu khususnya perkembangan manusia tidak hanya tertuju pada aspek psikologis saja, tetapi juga aspek biologis. Karena setiap aspek perkembangan individu, baik fisik, emosi, inteligensi maupun sosial, satu sama lain saling mempengaruhi. Terdapat hubungan atau korelasi yang positif diantara aspek tersebut. Apabila seorang anak dalam pertumbuhan fisiknya mengalami gangguan (sering sakit - sakitan), maka dia akan mengalami kemandegan dalam perkembangan aspek lainnya, seperti kecerdasannya kurang berkembang dan mengalami kelabilan emosional.
1.2 Rumusan Masalah
- Apakah tanda - tanda atau hal yang mempengaruhi perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa?
- Bagaimanakah perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui hal - hal yang mempengaruhi perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa.
- Ingin mengetahui perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa.
1
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Apakah tanda - tanda atau hal yang mempengaruhi perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa?
- Perkembangan Fisik dapat ditandai dengan perubahan yang terjadi pada Sistem Saraf, Perkembang Tulang dan Berat Badan Serta Perkembangan Otot.
- Perkembangan Bahasa dipengaruhi oleh motif :
1. Keinginan untuk memperoleh informasi tentang lingkungannya, diri sendiri, dan kawan - kawannya ini terlihat pada anak usia 2 setengah - 3 tahun.
2. Memberi perintah dan menyatakan kemauannya.
3. Pergaulan sosial dengan orang lain.
4. Menyatakan pendapat dan ide - idenya.
- Perkembangan Perilaku Psikomotorik dapat dilakukan dengan cara terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll.
- Perkembangan Kognitif ditandai oleh berbagai macam hal, diantaranya adalah Perkembangan Memori, Perkembangan Pemikiran Kritis, Perkembangan Kreatifitas dan Bahasa.
3.2 Bagaimanakah perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa?
Perkembangannya berbeda - beda, tergantung dari sifat individu itu sendiri serta pengaruh lingkungannya. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor - faktor tertentu sehingga menjadikan invidu tersebut memiliki tanda - tanda atau bahkan kemampuan yang berbeda dari individu lainnya.
9
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada usia anak hingga dewasa berbeda - beda. Itu dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah sifat dan pengaruh lingkungan individu itu sendiri. Selain itu dapat ditandai dengan beberapa hal, misalnya perkembangan fisik ditandai dengan perubahan yang terjadi pada Sistem Saraf, Perkembang Tulang dan Berat Badan Serta Perkembangan Otot. Menurut Clara dan William Stern, ilmuan bangsa Jerman, Perkembangan Bahasa seorang anak dibagi dalam empat masa, yaitu: masa kalimat satu kata, masa memberi nama, masa kalimat tunggal dan masa kalimat majemuk. Sedangakan Perkembangan Perilaku Psikomotorik dapat dilakukan dengan cara terus melakukan berbagai aktivitas fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal, seperti senam, berenang, dll. Begitu juga dengan Perkembangan Kognitif bias ditandai dengan berbagai macam hal, diantaranya adalah Perkembangan Memori, Perkembangan Pemikiran Kritis, Perkembangan Kreatifitas dan Bahasa.
4.2 Saran
Untuk menunjang perkembangan fisik, bahasa serta perilaku psikomotorik dan kognitif pada anak perlu diadakannya pendidikan, baik pendidikan di lingkungan keluarga, masyarakat maupun di sekolah. Makanan yang bergizi juga tidak kalah pentingnya bagi pertumbuhan dan perkembangan sang anak. Sehingga kelak mereka bisa menjadi orang yang berguna di lingkungannya.
10
DAFTAR PUSTAKA
1.Terkini, Informasi. 2010. Pertumbuhan Dan Perkembangan Fisik Dan Motorik, ( online ),
(http://sepriblog.blogspot.com/2010/02/pertumbuhan-dan-perkembangan-fisik-dan.html), diakses 05 pebruari 2010.
2.Ismail, Bustamam. 2009. Perkembangan Aspek Fisik, Motorik, Kognitif, Bahasa, Moral,
Sosial, Emosi dan Agama Dari Bayi Hingga Anak - Anak, ( online ), (http://hbis.wordpress.com/2009/10/24/perkembangan-aspek-fisik-motorik-kognitif-bahasa-moral-sosial-emosi-dan-agama-dari-bayi-hingga-kanak-kanak/), diakses 24 Oktober 2009.
11
Rabu, 25 Januari 2012
Hakikat Bahasa Indonesia
HAKIKAT BAHASA
• “Language is purely human and non-instinctive methods of communicating ideas, emotions, and desires by means of voluntary produced symbols” (Edward Sapir, 1921).
(Bahasa hanya dimiliki oleh manusia sebagai simbol non-instingtif dan diciptakan secara fakultatif untuk mengkomunikasikan ide, perasaan, dan keinginan)
• “A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which the members of society interact in terms of their total culture” (G. Trager, 1949).
• (Bahasa merupakan sistim simbol vokal yang bersifat arbritrar, dan digunakan oleh anggota suatu masyarakat dalam menginteraksikan keseluruhan budayanya)
• “Language is the institution whereby humans communicate and interact with each other by means of habitually used oral—auditory arbitrary symbols” (R.A. Hall, 1964).
• (Bahasa merupakan institusi yang memungkinkan manusia saling berinteraksi dan berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya, dalam artian menggunakan simbol-simbol oral-auditoris yang bersifat arbritrar}.
• Language is a social phenomenon which is part of the natural history of human beings; a sphere human action, where in people utter string of vocal sound, or inscribe string of marks, and wherein people respond by thought or action to the sounds or marks which they observe to have been so produced” (Lewis, 2001).
• (Bahasa merupakan fenomena sosial sebagai bagian dari sejarah asal muasal manusia; dalam lingkup tindakan manusia, yakni ketika seseorang mengujarkan sesuatu melalui rangkaian bunyi vokal, atau menuliskan sesuatu melalui rangkaian tanda-tanda, dan ketika seseorang merespon melalui pikiran maupun tindakan terhadap bunyi atau tanda tersebut).
• Bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang arbritrar yang igunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) sebagai alat komunikasi. Bahasa itu merupakan fenomena sosial, tidak bisa dilepaskan dari masyarakat yang memiliki dan menggunakannya. (Suparno, 1994).
KARAKTERISTIK BAHASA
• Bahasa adalah suatu sistem, artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tak beraturan. Dalam bahasa terdapat aturan atau kaidah, sehingga beroperasinya bahasa selalu terikat pada aturan atau kaidah yang berlaku (inilah yang menyebabkan bahasa itu bersifat teratur). Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana (beberapa ahli ada yang menggolongkan menjadi tiga, meliputi subsistem fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikon) merupakan wujud sistem yang teratur dalam bahasa.
• Bahasa itu sebuah sistem simbol/lambang. Simbol atau lambang ialah tanda yang dipergunakan dan disepakati secara konvensional oleh sekelompok masyarakat untuk mewakili sesuatu.
• Bahasa itu sistem bunyi oral. Ciri khas inilah yang membedakan kedudukan bahasa sebagai alat komunikasi dengan alat-alat lainnya. Bentuk-bentuk bunyi yang dihasilkan oleh artikulator secara teratur dan sistematis difungsikan sedemikian rupa sehingga ber-makna. Kewajaran ciri ini juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa pengalaman berbahasa yang paling umum pada manusia ialah berbicara dan menyimak, selain itu sistem tulisan hanya mampu mewakili sebagian isyarat penting yang terdapat dalam ucapan.
• Bahasa itu bermakna. Oleh karena lambang, tanda, dan simbol dalam bahasa mewakili sesuatu, maka bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar yang direferensikan melalui lambang, tanda, dan simbol tersebut.
• Bahasa itu bersifat konvensional. Sebagai sistem lambang/tanda/simbol yang sistematis, sistemik, lengkap, keberadaan bahasa harus disepakati dan dipelajari oleh para pemakainya.
• Bahasa itu bersifat arbitrar. Tidak ada hubungan wajib antara satuan-satuan bunyi bahasa dengan sesuatu hal dilambangkannya. Mengapa bahasa “x” mempunyai kosakata (satuan bunyi) yang berbeda dengan bahasa “y”, “z”, atau lainnya? Apa hubungannya antara masing-masing satuan bunyi yang berbeda itu dengan sesuatu yang direferensikannya? Jawabannya tegas tidak ada dan tidak untuk dihubung-hubungkan.
• Bahasa itu bersifat unik, universal, dan produktif. Bahasa mempunyai ciri-ciri khas dan ciri-ciri umum (universal) dalam subsistem kaidah, aturan, dan norma yang berlaku. Pada se-mua tataran kebahasaan, setiap bahasa yang hidup selalu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penuturnya.
• Bahasa itu dipakai oleh sekelompok manusia untuk bekerja sama dan berkomunikasi. Seorang individu dengan individu lain, individu dengan masyarakatnya, dan masyarakat dengan masyarakat lainnya selalu berinteraksi dalam rangka mempertahankan kehidupannya (ingat: needs and wants of human). Dalam hal ini kesemua kelompok tutur tersebut mendudukakan bahasa pada posisi tertentu, kemudian memfungsikannya sesuai dengan proporsi tertentu.
• Bahasa bersifat non-instingtif. Bahasa tidak diturunkan dan dimiliki manusia secara genetis. Oleh karena itu bahasa haruslah dipelajari, jika tidak maka sudah dapat dipastikan seseorang tidak akan mampu memfungsikan bahasa sebagaima mestinya.
Fungsi Bahasa
Mulai saat bangun pagi-pagi sampai jauh malam waktu ia beristirahat, manusia tidak lepas-lepasnya memakai bahasa, malahan waktu tidurpun tidak jarang ia memakai bahasanya. Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada hakikatnya ia masih juga memakai bahasa, karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran dan perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan; alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, dan bahasa adalah dasar pertama-tama dan paling berurat akar pada masyarakat manusia. Bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang kita dapat menangkap tidak saja keinginanya, tetapi juga motif keinginanya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan sebagainya
Fungsi Bahasa
• Fungsi personal yakni penggunaan bahasa untuk menyatakan diri. Jika seseorang menyampaikan pikiran dan perasaannya, maka ia sedang menggunakan bahasa untuk menyatakan dirinya.
• Fungsi interpersonal/interaksional yakni penggunaan bahasa untuk menjalin hubungan sosial. Jika antar-manusia menggunakan bahasa untuk saling berhubungan maka dampak yang paling menonjol adalah munculnya komunitas atau kelompok sosial baik dalam skala lokal, regional, nasional, maupun internasional.
• Fungsi direktif/regulator yakni penggunaan bahasa untuk mengatur orang lain. Jika seseorang bermaksud menyuruh orang lain, memberikan saran, meminta sesuatu, meyakinkan tentang sesuatu, mengajak berbuat sesuatu, dan sejenisnya maka ia sedang memfungsikan bahasa secara direktif.
• Fungsi referensial yakni penggunaan bahasa untuk menampilkan, menyebutkan, atau merujuk suatu referen (benda yang disebut atau ditunjuk). Jika seseorang menyebutkan atau menunjuk benda apapun (baik yang dapat diindera ataupun tidak) di sekitarnya dengan menggunakan lambang bahasa, maka ia sedang memfungsikan bahasa secara referensial.
• Fungsi imajinatif yakni penggunaan bahasa untuk merealisasikan imajinasinya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa. Jika seseorang sedang menciptakan suatu karya fiksi (prosa, puisi, cerpen, novel, roman, legenda, hikayat, dsb.) maka ia sedang memfungsikan bahasa secara imajinatif.
• Fungsi instrumental yakni penggunaan bahasa untuk mengatur lingkungan atau mencip-takan situasi dan peristiwa tertentu (bahasa berfungsi sebagai alat). Jika seseorang berupaya menjadikan suatu situasi, kejadian, dan peristiwa dengan berbahasa maka ia sedang memanfaatkan bahasa sebagai istrumennya
• Fungsi representasional yakni penggunaan bahasa untuk menyajikan dan menyebarluas-kan fakta dan khasanah ilmu pengetahuan. Jika seseorang sedang memaparkan suatu fakta ataupun ilmu pengetahuan secara lisan ataupun tulis maka ia sedang memanfaatkan bahasa secara representatif.
• Fungsi heuristik yakni penggunaan bahasa untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Jika seseorang sedang mempelajari, memperoleh jawaban, dan memahami ten-tang sesuatu hal melalui lambang bahasa tulius maupun lisan, maka ia sedang memanfaatkan bahasa secara heuristis.
Manusia dan Bahasa
• Bahasa secara fungsional digunakan manusia sebagai sarana, alat, media, atau wahana berkomunikasi dalam rangka menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan antara yang satu dengan lainnya. Penggunaan bahasa dalam aktivitas komunikasi (baik interaksional maupun transaksional) ini merupakan cerminan kodrat humanistis manusia sebagai bagian dari zoon politicon (baca: makhluk berbudaya) yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Dapat dipahami pula bahwa kompleksitas ide, gagasan, dan perasaan senantiasa berbanding lurus dengan kompleksitas bahasa yang difungsikan sebagai alat komunikasi tersebut.
• “Language is purely human and non-instinctive methods of communicating ideas, emotions, and desires by means of voluntary produced symbols” (Edward Sapir, 1921).
(Bahasa hanya dimiliki oleh manusia sebagai simbol non-instingtif dan diciptakan secara fakultatif untuk mengkomunikasikan ide, perasaan, dan keinginan)
• “A language is a system of arbitrary vocal symbols by means of which the members of society interact in terms of their total culture” (G. Trager, 1949).
• (Bahasa merupakan sistim simbol vokal yang bersifat arbritrar, dan digunakan oleh anggota suatu masyarakat dalam menginteraksikan keseluruhan budayanya)
• “Language is the institution whereby humans communicate and interact with each other by means of habitually used oral—auditory arbitrary symbols” (R.A. Hall, 1964).
• (Bahasa merupakan institusi yang memungkinkan manusia saling berinteraksi dan berkomunikasi antara yang satu dengan lainnya, dalam artian menggunakan simbol-simbol oral-auditoris yang bersifat arbritrar}.
• Language is a social phenomenon which is part of the natural history of human beings; a sphere human action, where in people utter string of vocal sound, or inscribe string of marks, and wherein people respond by thought or action to the sounds or marks which they observe to have been so produced” (Lewis, 2001).
• (Bahasa merupakan fenomena sosial sebagai bagian dari sejarah asal muasal manusia; dalam lingkup tindakan manusia, yakni ketika seseorang mengujarkan sesuatu melalui rangkaian bunyi vokal, atau menuliskan sesuatu melalui rangkaian tanda-tanda, dan ketika seseorang merespon melalui pikiran maupun tindakan terhadap bunyi atau tanda tersebut).
• Bahasa adalah sistem lambang bunyi oral yang arbritrar yang igunakan oleh sekelompok manusia (masyarakat) sebagai alat komunikasi. Bahasa itu merupakan fenomena sosial, tidak bisa dilepaskan dari masyarakat yang memiliki dan menggunakannya. (Suparno, 1994).
KARAKTERISTIK BAHASA
• Bahasa adalah suatu sistem, artinya bahasa itu bukanlah sejumlah unsur yang terkumpul secara tak beraturan. Dalam bahasa terdapat aturan atau kaidah, sehingga beroperasinya bahasa selalu terikat pada aturan atau kaidah yang berlaku (inilah yang menyebabkan bahasa itu bersifat teratur). Fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, dan wacana (beberapa ahli ada yang menggolongkan menjadi tiga, meliputi subsistem fonologi, subsistem gramatikal, dan subsistem leksikon) merupakan wujud sistem yang teratur dalam bahasa.
• Bahasa itu sebuah sistem simbol/lambang. Simbol atau lambang ialah tanda yang dipergunakan dan disepakati secara konvensional oleh sekelompok masyarakat untuk mewakili sesuatu.
• Bahasa itu sistem bunyi oral. Ciri khas inilah yang membedakan kedudukan bahasa sebagai alat komunikasi dengan alat-alat lainnya. Bentuk-bentuk bunyi yang dihasilkan oleh artikulator secara teratur dan sistematis difungsikan sedemikian rupa sehingga ber-makna. Kewajaran ciri ini juga dapat dilihat dari kenyataan bahwa pengalaman berbahasa yang paling umum pada manusia ialah berbicara dan menyimak, selain itu sistem tulisan hanya mampu mewakili sebagian isyarat penting yang terdapat dalam ucapan.
• Bahasa itu bermakna. Oleh karena lambang, tanda, dan simbol dalam bahasa mewakili sesuatu, maka bahasa itu berkaitan dengan segala aspek kehidupan dan alam sekitar yang direferensikan melalui lambang, tanda, dan simbol tersebut.
• Bahasa itu bersifat konvensional. Sebagai sistem lambang/tanda/simbol yang sistematis, sistemik, lengkap, keberadaan bahasa harus disepakati dan dipelajari oleh para pemakainya.
• Bahasa itu bersifat arbitrar. Tidak ada hubungan wajib antara satuan-satuan bunyi bahasa dengan sesuatu hal dilambangkannya. Mengapa bahasa “x” mempunyai kosakata (satuan bunyi) yang berbeda dengan bahasa “y”, “z”, atau lainnya? Apa hubungannya antara masing-masing satuan bunyi yang berbeda itu dengan sesuatu yang direferensikannya? Jawabannya tegas tidak ada dan tidak untuk dihubung-hubungkan.
• Bahasa itu bersifat unik, universal, dan produktif. Bahasa mempunyai ciri-ciri khas dan ciri-ciri umum (universal) dalam subsistem kaidah, aturan, dan norma yang berlaku. Pada se-mua tataran kebahasaan, setiap bahasa yang hidup selalu tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kehidupan penuturnya.
• Bahasa itu dipakai oleh sekelompok manusia untuk bekerja sama dan berkomunikasi. Seorang individu dengan individu lain, individu dengan masyarakatnya, dan masyarakat dengan masyarakat lainnya selalu berinteraksi dalam rangka mempertahankan kehidupannya (ingat: needs and wants of human). Dalam hal ini kesemua kelompok tutur tersebut mendudukakan bahasa pada posisi tertentu, kemudian memfungsikannya sesuai dengan proporsi tertentu.
• Bahasa bersifat non-instingtif. Bahasa tidak diturunkan dan dimiliki manusia secara genetis. Oleh karena itu bahasa haruslah dipelajari, jika tidak maka sudah dapat dipastikan seseorang tidak akan mampu memfungsikan bahasa sebagaima mestinya.
Fungsi Bahasa
Mulai saat bangun pagi-pagi sampai jauh malam waktu ia beristirahat, manusia tidak lepas-lepasnya memakai bahasa, malahan waktu tidurpun tidak jarang ia memakai bahasanya. Pada waktu manusia kelihatan tidak berbicara, pada hakikatnya ia masih juga memakai bahasa, karena bahasa adalah alat yang dipakainya untuk membentuk pikiran dan perasaannya, keinginan dan perbuatan-perbuatan; alat yang dipakainya untuk mempengaruhi dan dipengaruhi, dan bahasa adalah dasar pertama-tama dan paling berurat akar pada masyarakat manusia. Bahasa adalah tanda yang jelas dari kepribadian, yang baik maupun yang buruk; tanda yang jelas dari budi kemanusiaan. Dari pembicaraan seseorang kita dapat menangkap tidak saja keinginanya, tetapi juga motif keinginanya, latar belakang pendidikannya, pergaulannya, adat istiadatnya, dan sebagainya
Fungsi Bahasa
• Fungsi personal yakni penggunaan bahasa untuk menyatakan diri. Jika seseorang menyampaikan pikiran dan perasaannya, maka ia sedang menggunakan bahasa untuk menyatakan dirinya.
• Fungsi interpersonal/interaksional yakni penggunaan bahasa untuk menjalin hubungan sosial. Jika antar-manusia menggunakan bahasa untuk saling berhubungan maka dampak yang paling menonjol adalah munculnya komunitas atau kelompok sosial baik dalam skala lokal, regional, nasional, maupun internasional.
• Fungsi direktif/regulator yakni penggunaan bahasa untuk mengatur orang lain. Jika seseorang bermaksud menyuruh orang lain, memberikan saran, meminta sesuatu, meyakinkan tentang sesuatu, mengajak berbuat sesuatu, dan sejenisnya maka ia sedang memfungsikan bahasa secara direktif.
• Fungsi referensial yakni penggunaan bahasa untuk menampilkan, menyebutkan, atau merujuk suatu referen (benda yang disebut atau ditunjuk). Jika seseorang menyebutkan atau menunjuk benda apapun (baik yang dapat diindera ataupun tidak) di sekitarnya dengan menggunakan lambang bahasa, maka ia sedang memfungsikan bahasa secara referensial.
• Fungsi imajinatif yakni penggunaan bahasa untuk merealisasikan imajinasinya dengan menggunakan lambang-lambang bahasa. Jika seseorang sedang menciptakan suatu karya fiksi (prosa, puisi, cerpen, novel, roman, legenda, hikayat, dsb.) maka ia sedang memfungsikan bahasa secara imajinatif.
• Fungsi instrumental yakni penggunaan bahasa untuk mengatur lingkungan atau mencip-takan situasi dan peristiwa tertentu (bahasa berfungsi sebagai alat). Jika seseorang berupaya menjadikan suatu situasi, kejadian, dan peristiwa dengan berbahasa maka ia sedang memanfaatkan bahasa sebagai istrumennya
• Fungsi representasional yakni penggunaan bahasa untuk menyajikan dan menyebarluas-kan fakta dan khasanah ilmu pengetahuan. Jika seseorang sedang memaparkan suatu fakta ataupun ilmu pengetahuan secara lisan ataupun tulis maka ia sedang memanfaatkan bahasa secara representatif.
• Fungsi heuristik yakni penggunaan bahasa untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Jika seseorang sedang mempelajari, memperoleh jawaban, dan memahami ten-tang sesuatu hal melalui lambang bahasa tulius maupun lisan, maka ia sedang memanfaatkan bahasa secara heuristis.
Manusia dan Bahasa
• Bahasa secara fungsional digunakan manusia sebagai sarana, alat, media, atau wahana berkomunikasi dalam rangka menyampaikan ide, gagasan, dan perasaan antara yang satu dengan lainnya. Penggunaan bahasa dalam aktivitas komunikasi (baik interaksional maupun transaksional) ini merupakan cerminan kodrat humanistis manusia sebagai bagian dari zoon politicon (baca: makhluk berbudaya) yang membedakannya dengan makhluk lainnya. Dapat dipahami pula bahwa kompleksitas ide, gagasan, dan perasaan senantiasa berbanding lurus dengan kompleksitas bahasa yang difungsikan sebagai alat komunikasi tersebut.
Sejarah Retorika
Nama : Agung Budiono
Kelas : 2C
Nim : 10110084
Sejarah perkembangan retorika pada zaman romawi, pertengahan dan modern
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung¬kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema¬tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter¬kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan".
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-¬kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se¬zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika me¬mang mirip "ilmu silat lidah".
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling¬kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem-beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men¬jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon¬takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se¬bagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-¬gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan¬-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su¬paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-¬jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris¬an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng¬anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re¬torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta¬hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma¬yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge¬mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristo¬teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe¬san, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem¬bicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk me¬mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me-mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai¬kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos¬thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo¬krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
A. RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se¬gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator¬-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di¬besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem¬berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber¬pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per¬tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme¬nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se-sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana....
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena¬nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.
Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se¬kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran¬-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.
B. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha¬bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng¬gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang¬-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me¬namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng¬ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba-laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen¬didikan Islam tradisional.
C. RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai¬kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-¬fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng-organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me¬nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng¬utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me¬nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu¬bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita¬rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah.
Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyu¬sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata¬nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per¬hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem¬bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak¬ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men-definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo¬sisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga¬nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da¬sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka¬limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Ki¬ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per¬suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per¬suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres-tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.
Diposkan oleh HMJ KPI di 10:26
http://kpi-staipersis.blogspot.com/2007/07/sejarah-perkembangan-retorika.html
Kelas : 2C
Nim : 10110084
Sejarah perkembangan retorika pada zaman romawi, pertengahan dan modern
Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mung¬kin pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kema¬tian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar.
Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga ter¬kenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan".
Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah.
Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.
Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-¬kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis se¬zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika me¬mang mirip "ilmu silat lidah".
Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato.
Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang mengguling¬kan demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani mem-beritahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax.
Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan Tuhan bila ia men¬jauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberon¬takan untuk menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Se¬bagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-¬gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan¬-kawan, Gorgias berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang".
Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.
Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur rambutnya sebelah, su¬paya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit.
Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-¬jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya, menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!
Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya untuk mereka yang berbakat.
Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap waris¬an prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.
Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.
Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.
Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato meng¬anjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian re¬torika ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.
Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima ta¬hap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).
Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.
Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).
Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan.
Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: ma¬yor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan menge¬mukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun para bintang fihn.
Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristo¬teles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pe¬san, khalayak, dan pembicara.
Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pem¬bicaraannya. Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk me¬mudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me-mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.
Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampai¬kan pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demos¬thenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipo¬krit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).
A. RETORIKA ZAMAN ROMAWI
Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-se¬gi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator¬-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.
Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di¬besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang mem¬berinya kehormatan dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik, bila yang ber¬pidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.
Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang per¬tama yang menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh keme¬nangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se-sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas kerajaan Romawi".
Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:
Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana....
Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui pena¬nya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah.
Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan se¬kolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:
Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya dengan pemikiran¬-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat mungkin.
Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks well.
B. RETORIKA ABAD PERTENGAHAN
Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai ha¬bis). Retorika subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.
Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan meng¬gerakkan - yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik penyampaian pesan.
Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".
Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang¬-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan me¬namainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat oleh para peng¬ikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah).
Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli ba-laghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pen¬didikan Islam tradisional.
C. RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabai¬kan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama beberapa generasi.
Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi, kemauan adalah fakultas-¬fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.
Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).
George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan".
Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan meng-organisasikannya secara baik. Baik Whately maupun Campbell me¬nekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat meng¬utamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me¬nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hu¬bungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas cita¬rasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato yang indah.
Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber kenikmatan.
Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyu¬sunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus mengarahkan mata¬nya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya.
Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena per¬hatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris.
Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkem¬bangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication, atau oral communication, atau public speak¬ing. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:
1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya, Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men-definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-propo¬sisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).
2. Charles Henry Woolbert
Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh orga¬nisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da¬sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-ka¬limat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.
3. William Noorwood Brigance
Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Ki¬ta cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.
4. Alan H. Monroe
Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.
Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Per¬suasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per¬suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga.
Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap pres-tasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.
Diposkan oleh HMJ KPI di 10:26
http://kpi-staipersis.blogspot.com/2007/07/sejarah-perkembangan-retorika.html
Label:
IKIP PGRI Bojonegoro,
Kak Budi,
Makalah,
Retorika
Makalah Axiologi Filsafat Ilmu
AKSIOLOGI
Oleh Kelompok 8 :
1. Mohammad Ayyub Khant ( 10110131 )
2. Ely Kusumawati ( 10110102 )
3. Agung Budiono ( 10110084 )
4. Indah Dwi Nursanti ( 10110118 )
I K I P P G R I B O J O N E G O R O
2011
KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah - Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat dikerjakan dengan lancar dan baik.
Makalah ini dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu. Makalah ini dapat tersusun dengan baik karena tidak lepas dari bantuan semua pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Drs. H. Budi Irawanto, M. Pd. Selaku Rektor IKIP PGRI Bojonegoro Jawa Timur
2. Bapak Abdul Ghoni Asror. Selaku Dosen Mata Kuliah Filsafat Ilmu
3. Kepada teman - teman yang telah memberikan motivasi, bantuan baik langsung maupun tidak langsung sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini sampai selesai.
Sehubungan dengan adanya bantuan tersebut, kami berdoa semoga amal perbuatannya diterima Allah SWT dan dijadikan amal sholeh.
Walaupun makalah ini telah diselesaikan dengan baik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharap adanya kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi semua pihak yang membaca.
Bojonegoro, 18 Oktober 2011
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………...1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………….1
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………………2
2.1 Pengertian Aksiologi…………………………………………………………...2
2.2 Kategori Dasar Aksiologi……………………………………………………....3
2.3 Penilaian Dalam Aksiologi……………………………………………………..4
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan……………………..6
2.5 Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu………………………………………...7
BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………………..8
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………....9
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...9
4.2 Saran…………………………………………………………………………….9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………....10
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Disinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuwannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
- Apakah pengertian Aksiologi?
- Bagaimanakah kaitan antara Aksiologi dengan Filsafat Ilmu?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui arti Aksiologi.
- Ingin mengetahui hubungan atau kaitan antara Aksiologi dengan Filsafat Ilmu.
1
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,serta penerapanilmu. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel, Aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
1. Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definjisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa permasalah utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai prtimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika . Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
2
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai - nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalahs esuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
2.2 Kategori Dasar Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar axiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value ). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku.
3
Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional ( Therational theory of value ). Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah ( Thenaturalistic theory of value ). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif ( Theemotive theory of value ). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.
2.3 Penilaian Dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
4
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
5
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. .
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
6
2.5 Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
7
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai merupakan esensi yang dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan antara nilai dengan eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses pemberian tanggapan dan memberikan sumbangan untuk memahami secara mendalam masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai.
4.2 Saran
Sebelum Mempelajari Ilmu, hendaknya kita mempelajari terlebih dahulu tentang aksiologi. Karena aksiologi mempelajari tentang kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia, selain itu juga mempelajari tentang teori nilai - nilai tolok ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian serta penerapan ilmu.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. http://blog.uin-malang.ac.id/abrorainun/2010/10/15/pengertian-aksiologi/
• Azra Azyumardi, Integrasi Keilmuan, (Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press)
• Bidin Masri Elmasyar, MA, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, (Jakarta: UIN Jakarta Press)
• Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. Ke-1
• Sumatriasumatri Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1988)
2. http://edyy-sant.blogspot.com/2010/03/axiologi.html
• Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
• Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
• Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.
• S. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
• Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
3. http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/aksiologi.html
4. http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
10
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Apakah pengertian aksiologi?
Aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and).
3.2 Bagaimanakah kaitan antara Aksiologi dengan Filsafat Ilmu?
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
8
Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,serta penerapanilmu. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Oleh Kelompok 8 :
1. Mohammad Ayyub Khant ( 10110131 )
2. Ely Kusumawati ( 10110102 )
3. Agung Budiono ( 10110084 )
4. Indah Dwi Nursanti ( 10110118 )
I K I P P G R I B O J O N E G O R O
2011
KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah - Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat dikerjakan dengan lancar dan baik.
Makalah ini dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu. Makalah ini dapat tersusun dengan baik karena tidak lepas dari bantuan semua pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Drs. H. Budi Irawanto, M. Pd. Selaku Rektor IKIP PGRI Bojonegoro Jawa Timur
2. Bapak Abdul Ghoni Asror. Selaku Dosen Mata Kuliah Filsafat Ilmu
3. Kepada teman - teman yang telah memberikan motivasi, bantuan baik langsung maupun tidak langsung sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini sampai selesai.
Sehubungan dengan adanya bantuan tersebut, kami berdoa semoga amal perbuatannya diterima Allah SWT dan dijadikan amal sholeh.
Walaupun makalah ini telah diselesaikan dengan baik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharap adanya kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi semua pihak yang membaca.
Bojonegoro, 18 Oktober 2011
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………….1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………...1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………….1
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………………2
2.1 Pengertian Aksiologi…………………………………………………………...2
2.2 Kategori Dasar Aksiologi……………………………………………………....3
2.3 Penilaian Dalam Aksiologi……………………………………………………..4
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan……………………..6
2.5 Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu………………………………………...7
BAB III PEMBAHASAN…………………………………………………………………..8
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………....9
4.1 Kesimpulan……………………………………………………………………...9
4.2 Saran…………………………………………………………………………….9
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………....10
iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini, perkembangan ilmu sudah melenceng jauh dari hakikatnya, dimana ilmu bukan lagi merupakan sarana yang membantu manusia mencapai tujuan hidupnya, namun bahkan kemungkinan menciptakan tujuan hidup itu sendiri. Disinilah moral sangat berperan sebagai landasan normatif dalam penggunaan ilmu serta dituntut tanggung jawab sosial ilmuwan dengan kapasitas keilmuwannya dalam menuntun pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga tujuan hakiki dalam kehidupan manusia bisa tercapai.
1.2 Rumusan Masalah
- Apakah pengertian Aksiologi?
- Bagaimanakah kaitan antara Aksiologi dengan Filsafat Ilmu?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui arti Aksiologi.
- Ingin mengetahui hubungan atau kaitan antara Aksiologi dengan Filsafat Ilmu.
1
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,serta penerapanilmu. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel, Aksiologi terbagi tiga bagian, yaitu:
1. Moral conduct, yaitu tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus, yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan. Bidang ini melahirkan keindahan.
3. Sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosial politik.
Dari definisi-definjisi aksiologi di atas terlihat dengan jelas bahwa permasalah utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai prtimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai yang dalam filsafat mengacu pada permasalahan etika dan estetika . Etika menilai perbuatan manusia, maka lebih tepat kalau dikatakan bahwa objek formal etika adalah norma-norma kesusilaan manusia, dan dapat dikatakan pula bahwa etika mempelajari tingkah laku manusia ditinjau dari segi baik dan tidak baik di dalam suatu kondisi yang normative, yaitu suatu kondisi yang melibatkan norma-norma. Sedangkan estetika berkaitan dengan nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena di sekelilingnya.
2
Dalam Encyslopedia of philosophy dijelaskan aksiologi disamakan dengan value and valuation :
1. Nilai digunakan sebagai kata benda abstrak, Dalam pengertian yang lebih sempit seperti baik, menarik dan bagus. Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas mencakup sebagai tambahan segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian.
2. Nilai sebagai kata benda konkret. Contohnya ketika kita berkata sebuah nilai atau nilai - nilai. Ia sering dipakai untuk merujuk kepada sesuatu yang bernilai, seperti nilainya atau nilai dia.
3. Nilai juga dipakai sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai, memberi nilai atau dinilai. Dari definisi aksiologi di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalahs esuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai.
Teori tentang nilai yang yang dalam filsafat mengacu pada masalah etika dan estetika.
2.2 Kategori Dasar Aksiologi
Terdapat dua kategori dasar axiologi :
1. Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
2. Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat unsur intuisi (perasaan).
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value ). Teori ini berpandangan bahwa sukar jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku.
3
Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional ( Therational theory of value ). Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanya orang jahat atau yang lalai yang melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah ( Thenaturalistic theory of value ). Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif ( Theemotive theory of value ). Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.
2.3 Penilaian Dalam Aksiologi
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
4
Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.
Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan. Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.
Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati. Selanjutnya deontologi, adala h pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
5
2.4 Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.
Berkaitan dengan hal ini, menurut Francis Bacon seperti yang dikutip oleh Jujun.S.Suriasumatri yaitu bahwa “pengetahuan adalah kekuasaan” apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, bahwa kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya, lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya. .
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
Jika seseorang hendak ikut membentuk dunia atau ikut mendukung suatu ide yang membentuk suatu dunia, atau hendak menentang suatu sistem kebudayaan atau sistem ekonomi, atau sistem politik, maka sebaiknya mempelajari teori-teori filsafatnya. Inilah kegunaan mempelajari teori-teori filsafat ilmu.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
Filsafat dalam posisi yang kedua ini semua teori ajarannya diterima kebenaranya dan dilaksanakan dalam kehidupan. Filsafat ilmu sebagai pandangan hidup gunanya ialah untuk petunjuk dalam menjalani kehidupan.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Dalam hidup ini kita menghadapi banyak masalah. Bila ada batui didepan pintu, setiap keluar dari pintu itu kaki kita tersandung, maka batu itu masalah. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah masalah itu dapat diselesaikan. Ada banyak cara menyelesaikan masalah, mulai dari cara yang sederhana sampai yang paling rumit. Bila cara yang digunakan amat sederhana maka biasanya masalah tidak terselesaikan secara tuntas.penyelesaian yang detail itu biasanya dapat mengungkap semua masalah yang berkembang dalam kehidupan manusia.
6
2.5 Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
7
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelediki hakekat nilai yang umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Dalam arti tertentu, jika nilai merupakan esensi yang dapat ditangkap secara langsung, maka sudah pasti hubungan antara nilai dengan eksistensi merupakan bahan yang sesuai benar bagi proses pemberian tanggapan dan memberikan sumbangan untuk memahami secara mendalam masalah-masalah yang berhubungan dengan nilai.
4.2 Saran
Sebelum Mempelajari Ilmu, hendaknya kita mempelajari terlebih dahulu tentang aksiologi. Karena aksiologi mempelajari tentang kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia, selain itu juga mempelajari tentang teori nilai - nilai tolok ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian serta penerapan ilmu.
9
DAFTAR PUSTAKA
1. http://blog.uin-malang.ac.id/abrorainun/2010/10/15/pengertian-aksiologi/
• Azra Azyumardi, Integrasi Keilmuan, (Jakarta: PPJM dan UIN Jakarta Press)
• Bidin Masri Elmasyar, MA, dkk, Integrasi Ilmu Agama dan Ilmu Hukum, (Jakarta: UIN Jakarta Press)
• Salam Burhanuddin, Logika Materil, Filsapat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Reneka Cipta, 1997), cet. Ke-1
• Sumatriasumatri Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Sinar Harapan, 1988)
2. http://edyy-sant.blogspot.com/2010/03/axiologi.html
• Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
• Endrotomo, Ir. 2004. Ilmu dan Teknologi. Information System ITS.
• Poedjawijatna, Prof. Ir. 2004. Tahu dan Pengetahuan. Jakarta : Rineka Cipta.
• S. Suriasumantri, Jujun. 1996. Filsafat Ilmu sebuah pengantar Populer. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan
• Jujun S. Suriasumantri, Filsafah Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
3. http://dinulislami.blogspot.com/2009/10/aksiologi.html
4. http://ikartiwa.wordpress.com/2011/03/04/makalah-aksiologi/
10
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Apakah pengertian aksiologi?
Aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and).
3.2 Bagaimanakah kaitan antara Aksiologi dengan Filsafat Ilmu?
Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran.
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
8
Pengertian Aksiologi
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian,serta penerapanilmu. Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan. Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
Kegunaan Aksiologi Terhadap Tujuan Ilmu Pengetahuan
Berkenaan dengan nilai guna ilmu, baik itu ilmu umum maupun ilmu agama, tak dapat dibantah lagi bahwa kedua ilmu itu sangat bermanfaat bagi seluruh umat manusia, dengan ilmu sesorang dapat mengubah wajah dunia.Nilai kegunaan ilmu, untuk mengetahui kegunaan filsafat ilmu atau untuk apa filsafat ilmu itu digunakan, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, yaitu:
1. Filsafat sebagai kumpulan teori digunakan memahami dan mereaksi dunia pemikiran
2. Filsafat sebagai pandangan hidup.
3. Filsafat sebagai metodologi dalam memecahkan masalah.
Kaitan Aksiologi Dengan Filsafat Ilmu
Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.
Makalah Bahasa Arab, SISTEM WACANA BAHASA ARAB DAN BAHASA INDONESIA
Oleh Kelompok 11 :
1. Agung Budiono (085854823423)
2. Mohammad Ayyub Khant ( 10110131 )
3. Mudiyono ( 10110045 )
4. Siti Aminah ( 10110068 )
I K I P P G R I B O J O N E G O R O
2012
KATA PENGANTAR
Pertama kami panjatkan rasa puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah - Nya kepada kami sehingga makalah ini dapat dikerjakan dengan lancar dan baik.
Makalah ini dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Bahasa Arab. Makalah ini dapat tersusun dengan baik karena tidak lepas dari bantuan semua pihak, untuk itu kami mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada :
1. Bapak Drs. Masrukin, M. Pd. Selaku Dosen Mata Kuliah Bahasa Arab
2. Kepada teman - teman yang telah memberikan motivasi, bantuan baik langsung maupun tidak langsung sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini sampai selesai.
Sehubungan dengan adanya bantuan tersebut, kami berdoa semoga amal perbuatannya diterima Allah SWT dan dijadikan amal sholeh.
Walaupun makalah ini telah diselesaikan dengan baik, namun penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu kami mengharap adanya kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi semua pihak yang membaca.
Bojonegoro, 9 Januari 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………1
1.2 Rumusan Masalah……………………………………………………………...1
1.3 Tujuan Penulisan……………………………………………………………….1
BAB II KAJIAN PUSTAKA………………………………………………………………..2
2.1 Pengertian Sistem Wacana Bahasa Arab……………………………………………...2
2.2 Wacana Bahasa Arab…………………………………………………………..2
2.3 Wacana Bahasa Indonesia……………………………………………………..5
2.4 Syaratan Terbentuknya Wacana……………………………………………….6
2.5 Struktur Wacana……………………………………………………………….6
2.6 Jenis - Jenis Wacana…………………………………………………………...8
2.7 Konteks Wacana……………………………………………………………….9
2.8 Perbedaan dan Persamaan Wacana Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia…10
BAB III PEMBAHASAN………………………………………………………………….11
BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………..12
4.1 Kesimpulan…………………………………………………………………...12
4.2 Saran………………………………………………………………………….12
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………...13
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dewasa ini banyak sekali orang yang tidak mengerti akan proses terbentuknya sebuah wacana. Padahal tidak mudah di dalam menyusun sebuah wacana. Karena wacana tersusun atas rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
Akan tetapi kenyataannya sekarang orang lebih mementingkan isi dan manfaat dari wacana yang mereka baca atau buat, bukannya belajar tentang bagaimana cara membuat wacana yang baik dan benar menurut kaidah yang sudah ditetapkan. Untuk itu perlu diadakan pelatihan bagi mereka yang berbakat dalam menulis cerita atau karangan. Terlebih bagi mereka yang berprofesi sebagai seorang guru bahasa.
1.2 Rumusan Masalah
- Apakah pengertian Wacana?
- Bagaimanakah proses terbentuknya wacana dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia?
1.3 Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui arti dari Wacana.
- Ingin mengetahui proses terbentuknya wacana dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Sistem Wacana Bahasa Arab
a. Pengertian Sistem
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi
b. Pengertian Wacana
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan.
c. Pengertian Bahasa Arab
Bahasa Arab (اللغة العربية al-lughah al-‘Arabīyyah, atau secara ringkas عربي ‘Arabī) adalah salah satu bahasa Semitik Tengah, yang termasuk dalam rumpun bahasa Semitik dan berkerabat dengan bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Neo Arami.
Jadi Pengertian Sistem Wacana Bahasa Arab adalah Suatu kesatuan / rentetan kalimat dalam Bahasa Arab yang saling berkaitan antara proposisi yang satu dengan lain sehingga membentuk kesatuan yang padu dan utuh.
2.2 Wacana Bahasa Arab
Wacana bahasa Arab terdiri atas :
1. Fi’il (kata kerja)
2. Isim (kata benda)
3. Huruf yang memiliki makna
1. Fi’il (الفعل ِ)
Al Fi’lu atau fi’il secara bahasa memiliki makna perbuatan atau kata kerja. Sedangkan menurut istilah dalam ilmu nahwu, fi’il adalah kata yang menunjukkan suatu makna yang ada pada zatnya serta terkait dengan waktu. Fi’il itu ada tiga:
1. Fi’il Madhi (فعل الماضي)
2. Fi’il Mudhori’ (فعل المضارع)
3. Fi’il Amar (فعل الامر)
Penjelasan:
1. Fi’il Madhi adalah kata kerja untuk masa lampau atau dalam istilah bahasa inggrisnya adalah past tense yang memiliki arti telah melakukan sesuatu. Contohnya: قَامَ (telah berdiri) atau جَلَسَ (telah duduk).
2. Fi’il Mudhari’ adalah kata kerja yang memiliki arti sedang melakukan sesuatu atau dalam istilah bahasa inggrisnya present continues tense. Contohnya: يَقُوْمُ (sedang berdiri) atau يَجْلِسََُ (sedang duduk).
3. Fi’il Amar adalah kata kerja untuk perintah. Contohnya قُمْ (bangunlah!) atau اِجْلِسْ(duduklah!).
2. Isim (ألاِسْمُ)
Isim secara bahasa memiliki arti yang dinamakan atau nama atau kata benda. Sedangkan menurut ulama nahwu, isim adalah kata yang menunjukkan suatu makna yang ada pada zatnya akan tetapi tidak berkaitan dengan waktu. Isim itu terbagi-bagi menjadi beberapa jenis yang bisa dikelompokkan sesuai dengan kelompoknya. Karena isim banyak sekali, maka kita tidak membahasnya disini. Akan tetapi, untuk memberi pengertian dasar tentang isim, maka berikut contohnya: زَيْدٌ artinya Zaid (Isim ‘Alam = nama orang), جََاكَرْتَا artinya Jakarta (nama tempat), هَذَا artinya ini (kata tunjuk), اَنَا artinya saya (kata ganti) dan contoh-contoh yang lain.
Dalam bahasa Arab, membedakan kata benda dengan kata yang lain--seperti kata kerja (fi'il) dan kata sambung (huruf)-- dapat diketahui juga dari adanya tanda-tanda berikut:
• Jar. Yakni apabila status i'robnya jar.[2] Karena hanya isim yang status i'robnya jar. Contoh,في المدرسة. Di sekolah. Kata المدرسة i'robnya jar dengan kasroh dan karena itu pasti isi (kata benda).
• Tanwin. Contoh, محمدٌ (muhammadun).
• Jatuh setelah alif lam (أل). Contoh, الحَمْدُ لله
• Jatuh setelah kata sambung jar (huruf jar) . Contoh, من المدرسة. Kata min (dari) adalah kata penghubung yand disebut dengan huruf jar. Kata Al Madrosati adalah isim karena jatuh setelah min.
Huruf Jar (حُروفُ الجَر)
1. من (min) Contoh, مِنَ الجامِعَةِ (Dari kampus)
2. إلي (ila) Contoh, إلي المَدْرَسَةِ Ke sekolah
3. عن ('an) Contoh, عَنِ الَمسْألَةِ (dari masalah itu)
4. علي ('ala) Contoh, عَلَي الِمنْبَرِ (Di atas mimbar)
5. في (fi) Contoh, فِي الْبَيْتِ (Di rumah)
6. رب (rubba). Contoh, رُبَّ رَجُلٍ كَرِيْمٍ (Semoga lelaki yang baik)
7. الباء Contoh, بِمُحَمَّدٍ (dengan Muhammad)
8. الكاف Contoh, محُمَدٌ كَعُمَرَMuhammad seperti Umar
9. أللامContoh, اَلكِتَابُ لِزَيْدٍ Buku itu milik Zaid.
10. حُروف القَسَمHuruf (kata sambung) untuk sumpah bermakna "demi". Kata sambung sumpah ada tiga yaitu
1. الواو (wau). Contoh, وَاللَِه Demi Allah
2. الباء (ba'). Contoh, بِاللِه Demi Allah
3. التاء (ta'). Contoh, تَاللِه Demi Allah
3. Huruf (الْحَرْفُ)
Huruf secara bahasa memilki arti huruf seperti yang kita kenal dalam bahasa indonesia ada 26 huruf. Sedangkan dalm bahasa arab kita mengenal ada 28 huruf yang kita kenal dengan huruf hijaiyah. Akan tetapi, huruf yang dimaksud disini bukan setiap huruf hijaiyah melainkan huruf hijaiyah yang memiliki arti seperti وَ(dan) فَ(maka) بِ(dengan)لِ (untuk) سَ(akan) كَ(seperti). Adapun huruf-huruf seperti Alif, Ta, Tsa, dan yang lain yang tidak memiliki arti maka tidak dapat menyusun suatu kalimat, melainkan hanya menyusun suatu kata saja.
Bentuk dan jenis huruf bermacam-macam, ada yang disebut dengan huruf mabani dan ada yang disebut dengan huruf ma’ani.
a. Huruf mabani (حَرْفُ مَبَانِي)
Adalah huruf-huruf hijaiyah selain huruf ا و ي , karena ketiga huruf tersebut dikatakan sebagai huruf ilat (حَرْفُ العِلَّةِ) atau huruf penyakit.
b. Huruf ma’ani (حَرْفُ مَعَانِي)
Adalah huruf-huruf yang mempunyai arti
Contoh :
اَوْ atau
وَ dan
ثُمََّ kemudian
اِذَا ketika
لِ milik
Jenis-jenis huruf ma’ani bermacam-macam diantaranya :
- Huruf jar (حرف جَارٍ) yang telah kita bahas pada pelajaran kedua.
- Huruf qosam (حرف قسم) atau disebut juga huruf sumpah. Huruf qosam ada tiga, yakni و ت ب
Contoh :
وَاللهِ – بِاللهِ – تَاللهِ (demi Allah)
Namun, dari ketiga huruf sumpah di atas, huruf ت hanya boleh digunakan untuk sumpah atas nama Allah ta’ala, adapun huruf yang lainnya boleh digunakan untuk selain nama Allah ta’ala.
c. Huruf athof (حرف العطف)
Adalah huruf yang digunakan untuk menggabungkan dua kata.
Contoh :
و (dan) misal جَاءَ مُحَُّمَدٌ وَ حَسَنَ (Muhammad dan Hasan datang)
او (atau) misal ضَرَبَ حَسَنٌ كلَْبًا اَوْ قِطًا (Hasan memukul anjing atau kucing)
ثم (kemudian) misal مَا شَاءَ اللهُ ثُمَّ شِئْتَ (atas kehendak Allah kemudian kehendakmu)
Dari penjelasan di atas, kita tahu bahwa ada huruf yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda sesuai dengan letak dan kedudukan dalam kalimat, seperti huruf و , disisi lain ia bisa sebagai huruf athof dan disisi lain dia bisa menjadi huruf qosam. Untuk mengetahuinya dapat dilihat dari arti atau kontek kalimat yang digunakan.
Selanjutnya untuk unsur terbentuk dan jenisnya, wacana Bahasa Arab memiliki kesamaan dengan wacana Bahasa Indonesia. Seperti yang akan kami jelaskan pada bab selanjutnya.
2.3 Wacana Bahasa Indonesia
Wacana merupakan satuan bahasa di atas tataran kalimat yang digunakan untuk berkomunikasi dalam konteks sosial. Satuan bahasa itu dapat berupa rangkaian kalimat atau ujaran. Wacana dapat berbentuk lisan atau tulis dan dapat bersifat transaksional atau interaksional. Dalam peristiwa komunikasi secara lisan, dapat dilihat bahwa wacana sebagai proses komunikasi antarpenyapa dan pesapa, sedangkan dalam komunikasi secara tulis, wacana terlihat sebagai hasil dari pengungkapan ide/gagasan penyapa.
2.4 Syarat Terbentuknya Wacana
Penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat - kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
2.5 Struktur Wacana
a. Elemen - elemen Wacana
Elemen-elemen wacana adalah unsur-unsur pembentuk teks wacana. Elemen-elemen itu tertata secara sistematis dan hierarkis. Berdasarkan nilai informasinya ada elemen inti dan elemen luar inti. Elemen inti adalah elemen yang berisi informasi utama, informasi yang paling penting. Elemen luar inti adalah elemen yang berisi informasi tambahan, informasi yang tidak sepenting informasi utama.
Berdasarkan sifat kehadirannya, elemen wacana terbagi menjadi dua kategori, yakni elemen wajib dan elemen manasuka. Elemen wajib bersifat wajib hadir, sedangkan elemen manasuka bersifat boleh hadir dan boleh juga tidak hadir bergantung pada kebutuhan komunikasi.
b. Relasi Antarelemen dalam Wacana
Ada berbagai relasi antarelemen dalam wacana. Relasi koordinatif adalah relasi antarelemen yang memiliki kedudukan setara. Relasi subordinatif adalah relasi antarelemen yang kedudukannya tidak setara. Dalam relasi subordinatif itu terdapat atasan dan elemen bawahan. Relasi atribut adalah relasi antara elemen inti dengan atribut. Relasi atribut berkaitan dengan relasi subordinatif karena relasi atribut juga berarti relasi antara elemen atasan dengan elemen bawahan.
Relasi komplementatif adalah relasi antarelemen yang bersifat saling melengkapi. Dalam relasi itu, masing-masing elemen memiliki kedudukan yang otonom dalam membentuk teks. Dalam jenis ini tidak ada elemen atasan dan bawahan.
c. Struktur Wacana
Struktur wacana adalah bangun konstruksi wacana, yakni organisasi elemen-elemen wacana dalam membentuk wacana. Struktur wacana dapat diperikan berdasarkan peringkat keutamaan atau pentingnya informasi dan pola pertukaran. Berdasarkan peringkat keutamaan informasi ada wacana yang mengikuti pola segitiga tegak dan ada wacana yang mengikuti pola segitiga terbalik.
d. Referensi dan Inferensi Wacana
Referensi dalam analisis wacana lebih luas dari telaah referensi dalam kajian sintaksis dan semantik. Istilah referensi dalam analisis wacana adalah ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara/penulis untuk mengacu pada suatu hal yang dibicarakan, baik dalam konteks linguistik maupun dalam konteks nonlinguistik. Dalam menafsirkan acuan perlu diperhatikan, (a) adanya acuan yang bergeser, (b) ungkapan berbeda tetapi acuannya sama, dan (c) ungkapan yang sama mengacu pada hal yang berbeda.
Inferensi adalah membuat simpulan berdasarkan ungkapan dan konteks penggunaannya. Dalam membuat inferensi perlu dipertimbangkan implikatur. Implikatur adalah makna tidak langsung atau makna tersirat yang ditimbulkan oleh apa yang terkatakan (eksplikatur).
e. Kohesi dan Koherensi Wacana
Istilah kohesi mengacu pada hubungan antarbagian dalam sebuah teks yang ditandai oleh penggunaan unsur bahasa sebagai pengikatnya. Kohesi merupakan salah satu unsur pembentuk koherensi. Oleh sebab itu, dalam sebuah teks koherensi lebih penting dari kohesi. Namun bukan berarti kohesi tidak penting, Jenis alat kohesi ada tiga, yaitu substitusi, konjungsi, dan leksikal.
Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana. Kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Cara lain adalah menggunakan bentuk-bentuk yang mempunyai hubungan parataksis dan hipotaksis (parataxis and hypotaxis). Hubungan parataksis itu dapat diciptakan dengan menggunakan pernyataan atau gagasan yang sejajar (coordinative) dan subordinatif. Penataan koordinatif berarti menata ide yang sejajar secara beruntun.
2.6 Jenis - Jenis Wacana
a. Wacana Lisan dan Tulis
Berdasarkan saluran yang digunakan dalam berkomunikasi, wacana dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan. Wacana lisan berbeda dari wacana tulis. Wacana lisan cenderung kurang terstruktur (gramatikal), penataan subordinatif lebih sedikit, jarang menggunakan piranti hubung (alat kohesi), frasa benda tidak panjang, dan berstruktur topik-komen. Sebaliknya wacana tulis cenderung gramatikal, penataan subordinatif lebih banyak, menggunakan piranti hubung, frasa benda panjang, dan berstruktur subjek-predikat.
b. Wacana Monolog, Dialog, dan Polilog
Berdasarkan jumlah peserta yang terlibat pembicaraan dalam komunikasi, ada tiga jenis wacana, yaitu wacana monolog, dialog, dan polilog. Bila dalam suatu komunikasi hanya ada satu pembicara dan tidak ada balikan langsung dari peserta yang lain, maka wacana yang dihasilkan disebut monolog. Dengan demikian, pembicara tidak berganti peran sebagai pendengar. Bila peserta dalam komunikasi itu dua orang dan terjadi pergantian peran (dari pembicara menjadi pendengar atau sebaliknya), maka wacana yang dibentuknya disebut dialog. Jika peserta dalam komunikasi lebih dari dua orang dan terjadi pergantian peran, maka wacana yang dihasilkan disebut polilog.
c. Wacana Deskripsi, Eksposisi, Argumentasi, Persuasi dan Narasi
Dilihat dari sudut pandang tujuan berkomunikasi, dikenal ada wacana dekripsi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan narasi. Wacana deskripsi bertujuan membentuk suatu citra (imajinasi) tentang sesuatu hal pada penerima pesan. Aspek kejiwaan yang dapat mencerna wacana narasi adalah emosi. Sedangkan wacana eksposisi bertujuan untuk menerangkan sesuatu hal kepada penerima agar yang bersangkutan memahaminya. Wacana eksposisi dapat berisi konsep-konsep dan logika yang harus diikuti oleh penerima pesan. Oleh sebab itu, untuk memahami wacana eksposisi diperlukan proses berpikir. Wacana argumentasi bertujuan mempengaruhi pembaca atau pendengar agar menerima pernyataan yang dipertahankan, baik yang didasarkan pada pertimbangan logika maupun emosional. Untuk mempertahankan argumen diperlukan bukti yang mendukung.
Wacana persuasi bertujuan mempengaruhi penerima pesan agar melakukan tindakan sesuai yang diharapkan penyampai pesan. Untuk mernpengaruhi ini, digunakan segala upaya yang memungkinkan penerima pesan terpengaruh. Untuk mencapai tujuan tersebut, wacana persuasi kadang menggunakan alasan yang tidak rasional. Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Oleh karena itu, unsur-unsur yang biasa ada dalam narasi adalah unsur waktu, pelaku, dan peristiwa.
2.7 Konteks Wacana
a. Hakikat Konteks
Konteks adalah benda atau hal yang berada bersama teks dan menjadi lingkungan atau situasi penggunaan bahasa. Konteks tersebut dapat berupa konteks linguistik dan dapat pula berupa konteks ekstralinguistik. Konteks linguistik yang juga berupa teks atau bagian teks dan menjadi lingkungan sebuah teks dalam wacana yang sama dapat disebut konteks ekstralinguistik berupa hal-hal yang bukan unsur bahasa, seperti partisipan, topik, latar atau setting (tempat, waktu, dan peristiwa), saluran (bahasa lisan atau tulis), bentuk komunikasi (dialog, monolog, atau polilog)
Pengguna bahasa harus memperhatikan konteks agar dapat menggunakan bahasa secara tepat dan menentukan makna secara tepat pula. Dengan kata lain, pengguna bahasa senantiasa terikat konteks dalam menggunakan bahasa. Konteks yang harus diperhatikan adalah konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
b. Macam - macam Konteks
Konteks adalah sesuatu yang menyertai atau yang bersama teks. Secara garis besar, konteks wacana dibedakan atas dua kategori, yakni konteks linguistik dan konteks ekstralinguistik.
- Konteks linguistik adalah konteks yang berupa unsur-unsur bahasa. Konteks linguistik itu mencakup penyebutan depan, sifat kata kerja, kata kerja bantu, dan proposisi positif.
Di samping konteks ada juga koteks. Koteks adalah teks yang berhubungan dengan sebuah teks yang lain. Koteks dapat pula berupa unsur teks dalam sebuah teks.Wujud koteks bermacam-macam, dapat berupa kalimat, pargraf, dan bahkan wacana.
- Konteks ekstralinguistik adalah konteks yang bukan berupa unsur-unsur bahasa. Konteks ekstralinguistik itu mencakup praanggapan, partisipan, topik atau kerangka topik, latar, saluran, dan kode. Partisipan adalah pelaku atau orang yang berpartisipasi dalam peristiwa komunikasi berbahasa. Partisipan mencakup penutur, mitra tutur. dan pendengar. Latar adalah tempat dan waktu serta peristiwa beradanya komunikasi. Saluran adalah ragam bahasa dan sarana yang digunakan dalam penggunaan wacana. Kode adalah bahasa atau dialek yang digunakan dalam wacana.
2.8 Perbedaan dan Persamaan Wacana Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia
Perbedaan wacana Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia terletak pada pemakaian huruf pada masing - masing bahasa. Selain itu di dalam Bahasa Arab terdapat Fi’il (kata kerja), Isim (kata benda) dan Huruf yang sebenarnya sama dalam Bahasa Indonesia tetapi hanya berbeda nama dan proses pembentukannya.
Persamaannya adalah Penggunaan bahasa yang berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Selain itu dalam meyusunan rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Apakah pengertian Wacana?
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan.
3.2 Bagaimanakah proses terbentuknya wacana dalam Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia??
Proses terbentuknya wacana dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
Wacana dikatakan utuh apabila kalimat-kalimat dalam wacana itu mendukung satu topik yang sedang dibicarakan, sedangkan wacana dikatakan padu apabila kalimat - kalimatnya disusun secara teratur dan sistematis, sehingga menunjukkan keruntututan ide yang diungkapkan.
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lain sehingga membentuk kesatuan.
Perbedaan wacana antara Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia terletak pada pemakaian huruf pada masing - masing bahasa. Selain itu di dalam Bahasa Arab terdapat Fi’il (kata kerja), Isim (kata benda) dan Huruf yang sebenarnya sama dalam Bahasa Indonesia tetapi hanya berbeda nama dan proses pembentukannya.
Persamaannya adalah Penggunaan bahasa yang berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Selain itu dalam meyusunan rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
4.2 Saran
Sebelum membuat wacana hendaknya kita harus mengetahui prinsip – prinsip atau unsur – unsure yang terdapat dalam sebuah wacana. Baru nantinya kita dapat membuat wacana yang baik dan benar. Untuk itu diperlukan adanya latihan dan sering membaca.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem
2. http://id.wikibooks.org/wiki/Bahasa_Indonesia/Wacana
3. http://kamus.javakedaton.com/
4. http://www.google.co.id/tanya/thread?tid=07f4f0efbf44fd1e
5. http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?Itemid=75&catid=30:fkip&id=164:pbin-4216- wacana-bahasa-indonesia&option=com_content&view=article
lainya
6. http://www.docstoc.com/docs/26069360/macam-macam-wacana
7. http://massofa.wordpress.com/2008/01/14/kajian-wacana-bahasa-indonesia/
Posted on 14 Januari 2008 by Pakde sofa
8. Buku Wacana Bahasa Indonesia, karya Suparno dan Martutik
9. http://ya2punya.multiply.com/journal/item/5?&show_interstitial=1&u=%2Fjourn al%2Fitem
10. http://yuhana.wordpress.com/2009/05/27/jenis-jenis-kata-dalam-bahasa-arab/
11. http://ryper.blogspot.com/2009/11/pelajaran-4-huruf-dan-isim-dhomir.html
Sistem Wacana Bahasa Arab dan Bahasa Indonesia
A.Sistem Wacana Bahasa Arab adalah Suatu kesatuan / rentetan kalimat dalam Bahasa Arab yang saling berkaitan antara proposisi yang satu dengan lain sehingga membentuk kesatuan yang padu dan utuh.
- Wacana bahasa Arab terdiri atas : Fi’il (kata kerja), Isim (kata benda) dan Huruf.
1. Fi’il (الفعل ِ), Al Fi’lu atau fi’il secara bahasa memiliki makna perbuatan atau kata kerja.
2. Isim (ألاِسْمُ), Isim secara bahasa memiliki arti yang dinamakan atau nama atau kata benda. Contoh من : (min) مِنَ الجامِعَةِ (Dari kampus)
3. Huruf (الْحَرْفُ), Huruf dalam bahasa arab kita mengenal ada 28 huruf yang kita kenal dengan huruf hijaiyah. Akan tetapi, huruf yang dimaksud disini bukan setiap huruf hijaiyah melainkan huruf hijaiyah yang memiliki arti seperti وَ(dan) فَ(maka) بِ(dengan)لِ (untuk) سَ(akan) كَ(seperti).
Bentuk dan jenis huruf bermacam-macam, ada yang disebut dengan huruf mabani dan ada yang disebut dengan huruf ma’ani.
a. Huruf mabani (حَرْفُ مَبَانِي) b. Huruf ma’ani (حَرْفُ مَعَانِي) c. Huruf athof (حرف العطف)
B.Wacana Bahasa Indonesia
Penggunaan bahasa dapat berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Wacana yang berupa rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
- Struktur Wacana
a. Elemen - elemen Wacana b. Relasi Antarelemen dalam Wacana c. Struktur Wacana d. Referensi dan Inferensi Wacana e. Kohesi dan Koherensi Wacana
- Jenis - Jenis Wacana
a. Wacana Lisan dan Tulis b. Wacana Monolog, Dialog, dan Polilog c. Wacana Deskripsi, Eksposisi, Argumentasi, Persuasi dan Narasi
- Perbedaan dan Persamaan Wacana Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia
Perbedaan wacana Bahasa Arab dengan Bahasa Indonesia terletak pada pemakaian huruf pada masing - masing bahasa. Selain itu di dalam Bahasa Arab terdapat Fi’il (kata kerja), Isim (kata benda) dan Huruf yang sebenarnya sama dalam Bahasa Indonesia tetapi hanya berbeda nama dan proses pembentukannya. Persamaannya adalah Penggunaan bahasa yang berupa rangkaian kalimat atau rangkaian ujaran (meskipun wacana dapat berupa satu kalimat atau ujaran). Selain itu dalam meyusunan rangkaian kalimat atau ujaran harus mempertimbangkan prinsip-prinsip tertentu, prinsip keutuhan (unity) dan kepaduan (coherent).
Langganan:
Postingan (Atom)