Pages

Senin, 12 Maret 2012

Bangkitkan Budaya Literasi Bojonegoro


*Oleh :Agung Budiono
Dunia pendidikan khususnya di perguruan tinggi saat ini sedang hangat-hangatnya membicarakan surat edaran (SE) Ditjen Dikti tentang kewajiban publikasi tugas alhir di jurnal ilmiah bagi mahasiswa S-1, S-2, dan S-3.
Surat edaran itu tertanggal 27 Januari 2012 Nomor 152/E/T/2012 perihal publikasi karya ilmiah untuk mahasiswa S-1, S-2, dan S-3 kelulusan Agustus 2012. Isinya mengejutkan. Sebab untuk syarat kelulusan program S-1 harus menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah, syarat lulus S-2 harus menghasilkan makalah yang terbit di jurnal ilmiah nasional terakreditasi Dikti, dan S-3 terbit di jurnal internasional. Kebijakan ini akhirnya memunculkan pro dan kontra.
Kebijakan tersebut bukan tanpa dasar, sesuai dengan Tri Dharma perguruan tinggi meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.  Pendidikan sebagai ruh strategis memandirikan dan mencerdaskan bangsa. Penelitian sebagai model efektif mentradisikan kebudayaan ilmiah. Pengabdian masyarakat merupakan tradisi mendekatkan ilmu pengetahuan yang bersifat teoritik dengan praktik. Ketiganya bersinergi menjadi landasan gerak perguruan tinggi mencapai visi besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Penulis sendiri menilai langkah tersebut sangat baik untuk meningkatkan mutu pendidikan.  karena dalam kenyataannya memang belum banyak karya ilmiah yang di keluarkan mahasiswa ataupun dosen khususnya di Bojonegoro.
Terlepas dari tuntutan menulis karya untuk jurnal ilmiah, budaya menulis  memang belum menggeliat di kalangan mahasiswa Bojonegoro.
Bukannya penulis bermaksud memprovokasi, dan memang tidak akan berimbas banyak jika mahasiswa mempublikasikan tulisannya lewat media. Akan tetapi hendaknya seorang mahasiswa mampu untuk menulis di media. Seperti di Rubrik Opini harian RADAR BOJONEGORO, meskipun  sederhana di dalam menulis artikel opini penulis juga melakukan penelitian dan kajian mendalam sebelumnya.
Alangkah membanggakan jika SE Dikti dapat mendorong mahasisiwa  lebih semangat dalam menulis karya ilmiah  dan memperkuat jati diri sebagai agen of change lewat karya tulis mereka. Dengan menulis artikel di media mahasiswa akan mendapatkan penghargaan dan akuntabilitas karena menulis adalah aktifitas yang berharga.
Penulis teringat  petuah bijak Francis Bacon, "Seseorang yang gemar membaca akan mempunyai pandangan luas, membuatnya menjadi manusia utuh. Seseorang yang gemar berdiskusi membuat dia harus siap memberikan jawaban atau mengajukan pertanyaan. Dan orang yang gemar menulis membuatnya menjadi orang yang cermat."
Intinya dengan menulis mahasiswa akan lebih menunjukkan eksistensi. Menulis membuat mahasiswa berpikir dan berpikir, mendorong untuk terus membaca lebih kritis. Ada ungkapan  mengatakan “Membacalah untuk menulis dan menulislah untuk dibaca.” Ini karena antara memabaca dan menulis saling bersinergi saling mendorong dan mengatur satu sama lain.
Sebagian mahasiswa salah mengartikan budaya literasi. Membaca bagi mahasiswa dimaknai sebagai kegiatan membaca Novel, tabloid, majalah, ataupun bacaan ringan  lain. Sedangkan menulis diartikan mencatat materi kuliah, menjawab soal ujian tertulis, menyusun laporan praktikum, atau membuat laporan pertanggungjawaban.  Mahasiswa tumbuh menjadi lost generation yang bersikap tak acuh terhadap tantangan-tantangan intelektual.
Budaya membaca yang efektif adalah membaca yang disertai pula dengan keinginan untuk menceritakan kembali, lisan maupun tulisan.  Ketika seseorang menulis maka ia membaca, ketika ia membaca maka ia menulis.
Orang Kampus Ayo Menulislah…
Sebagai agen perubahan dan kontrol sosial mahasiswa selalu berpikir kritis. Akan tetapi pemikiran kebanyakan mahasiswa “aktivis” lebih cendrung pada aksi turun ke jalan dan orasi. Sangat minim mahasiswa yang menyalurkan aspirasinya lewat tulisan karna menulis dianggap sebagai pekerjaan yang sulit.
Rasionalnya jika saat aksi dan berorasi, suara aktivis hanya akan didengar oleh puluhan atau mungkin ratusan orang yang kebetulan mendapati aksi itu. Akan tetapi jika aspirasi itu ditulis di media maka ada ribuan orang yang akan membaca dan mempertimbangkan aspirasi mereka.
Mengapa mahasiswa enggan untuk menulis?, Banyak jawaban dari pertanyaan ini dari teman pada sebuah diskusi. Selain tidak percaya diri, malu, takut akan ditolak, takut akan dinilai, dan kurangnya kesempatan karena ketatnya kompetisi.
Ada sebuah alasan yang menarik bagi saya, mereka menilai dosennya saja belum banyak yang menulis di media,  jadi mahasiswa belum waktunya menulis jika dosennya belum menyontohkan. Jawaban ini wajar diutarakan oleh mahasiswa Bojonegoro. Pasalnya memang dosen yang mengirimkan artikelnya di media masih bisa dihitung jari.
Penulis sangat tertarik dengan tulisan tulisan pada rubrik GAGASAN “Satu Dosen Satu Karya” (Jawa Pos, Rabu 29 Februari 2012). Inti dari gagasan tersebut adalah seharusnya dosen selaku pembimbing memberi contoh dengan menulis di media atau jurnal ilmiah, dengan seperti itu  akan menjadi motivasi bagi mahasiswannya.
Jika kampus menginginkan mahasiswanya berkarya, alangkah arifnya jika itu dicontohkan dulu dari dosen. Ini adalah pengamalan dari ajaran mulia Ki Hajar Dewantara “Ing Ngarso Sung Tulodho” (jika di depan harus bisa memberi teladan). Dengan begitu dosen juga lebih percaya diri mengajak mahasiswa aktif menulis, karena sudah terbukti memiliki karya ilmiah yang terpublikasikan.
Mempublikasikan sebuah karya tulis baik dilakukan siapa saja, akan menguntungkan. Ini sebanding karena aktifitas menulis membutuhkan banyak biaya, energi dan mengorbankan waktu, akan tetapi asal prosesnya fair, hasilnya akan sangat membanggakan.
Akhirnya, SE Dirjen Dikti yang mewajibkan warga kampus untuk mempublikasikan karya ilmiah tidak harus ditanggapi dengan berlebihan. Memang hendaknya pemegang kebijakan harus mempertimbangkan apakah kebijakan itu bisa dilakukan. Sebaliknya dari sivitas akademika tentu tak ingin berjalan lurus tanpa peningkatan. Sekedar berjalan, hidup dan eksis di dunia pendidikan.
Bagaimanapun kemajuan pendidikan Bojonegoro adalah tanggung jawab kita berama. Dengan menyumbangkan buah pemikiran kita yang membuahkan karya-karya terbaik adalah persembahan terbaik untuk kelangsungan pendidikan menuju Bojonegoro yang matoh dari pesatnya budaya literasi.
*Penulis adalah Mahasiswa IKIP PGRI Bojonegoro, Aktif di Sekolah Menulis SEC dan Buletin Kampus SINERGI.




























0 komentar:

Posting Komentar