Pages

Selasa, 06 Desember 2011

Sertifikasi, Antara “Pelecehan”Guru dan Mimpi Keteladanan

Oleh :Agung Budiono
Ketika sertifikasi guru gencar dilakukan muncul beberapa pertanyaan. Diantaranya bagaimana kriteria guru yang baik? Apakah guru yang lulus sertifikasi telah memenuhi kriteria guru yang berkompeten? Adalah pertayaan-pertanyaan yang kerap muncul di dunia pendidikan setelah adanya program sertifikasi.
Menurut UU No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional pendidikan (SNP), sertifikasi adalah bentuk langkah penting untuk merubah kualitas generasi bangsa. hal ini diperkuat dengan Undang-Undang Guru dan Dosen (UUGD) dijelaskan harapan bahwa setiap guru dan dosen memiliki kualitas sesuai standar yang ditetapkan pemerintah. dan nyatanya progam sertifikasi ini pula yang selalu manjadi pembicaraan diberbagai kalangan.
Disisi lain, banyak pendapat yang mengatakan sertifikasi merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan guru.
Dalam pasal 16 UUGD menyebutkan guru yang telah lulus sertifikasi, berhak untuk mendapat sebuah sertifikat profesi . Dengan sertifikat profesi ini, guru berhak mendapatkan tunujangan profresi sebesar 1 bulan gaji pokok guru. Sehingga guru akan memperoleh penghasilan yang terdiri dari gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan fungsional dan tunjangan profesi. Selain itu mereka juga akan menerima tambahan penghasilan lain dalam bentuk tunjangan khusus bagi mereka yang bertugas didaerah khusus. Bila dilihat dari sudut pandang kalkulasi penghasilan guru maka sertifikat profesi ini memberikan sebuah harapan kesejahteraan. Asumsi pemerintah adalah akan ada peningkatan kulitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan.
Bagaikan jamur yang tumbuh di musim hujan. Begitu pula gambaran antusiasnya guru yang berbondong-bondong mengikuti sertifikasi. Mengurus segala persyaratan untuk mendapatkan sebuah sertifikat pendidik. Banyak syarat dari A sampai Z yang harus dipenuhi oleh seorang pengajar untuk dapat lulus program ini.
Dengan adanya tunjangan-tunjangan yang menjadi iming-iming bagi para guru, mengakibatkan tidak murninya niatan sebagian guru yang mengikuti sertifikasi, mereka akan cendrung mengejar iming-iming tunjangan profesi, bukan karena alasan untuk perbaikan kualitas guru.
Alasan ini pula yang melatarbelakangi kecurangan-kecurangan yang dilakukan guru untuk lulus sertifikasi. Misalnya banyak guru yang membeli sertifikat seminar atau pelatihan pendidikan yang diadakan instansi yang tidak bertanggungjawab tanpa mengikuti seminar ataupun pelatihan tersebut.institusi penyelenggara memperbolehkan mereka mendapatkan Sertifikat tanpa mengikuti karena mereka berani membayar lebih dari biaya normal.
Syarat lain seperti karya ilmiah yang harus dimiliki para pendaftar program sertifikasi ternyata juga tidak luput dari kecurangan. Banyak diantara pendaftar yang menggunakan karya ilmiah bukan dari karya pribadi, melainkan mereka menggunakan karya ilmiah orang lain untuk untuk diketik ulang di jasa pengetikan dan diganti identitas karya ilmiah itu menjadi ats nama dirinya.
Sertifikasi guru juga dinilai sebagai sebuah pelecehan. Hal tersebut dikarenakan guru yang tidak lulus penilaian portofolio selain harus melakukan kegiatan-kegiatan untuk melengkapi portofolio juga harus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru yang diakhiri dengan evaluasi atau penilaian sesuai persyaratan yang ditentukan oleh perguruan tinggi penyelengara sertifikasi. Guru yang lulus pendidikan dan pelatihan profesi guru mendapatkan sertifikat pendidik. Padahal dalam lembaga yang mendidik calon-calon tenaga guru, telah mengeluarkan dua sertifikat yaitu ijazah dan akta empat. ApaBila guru yang telah memiliki Ijazah dan akta IV masih harus mengikuti pendidikan profesi untuk mendapatkan sertifikat pendidik maka bukankah ini sama saja meragukan pendidikan yang telah diterimanya? Hal ini berarti sertifikat pendidik lebih tinggi kualitas atau nilainya dari pada ijazah dan akta IV. Apakah ini bukan suatu bentuk pelecehan baik terhadap guru, dosen ataupun terhadap LPTK? Bila alasannya adalah untuk sebuah kontrol mutu hasil pendidikan maka pertanyaannya adalah apakah sertifikasi pendidik itu benar-benar dapat mengontrol mutu pendidik?
Program sertifikasi yang memasuki period eke empat ditahun 2011 ini. Selama periode tersebut, semoga pemerintah dapat mengevaluasi , baik dampak positif maupun dampak negatifnya dari proses dan hasil setelah sertifikasi.
Agar progam sertifikasi ini berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka ada dua catatan yang penulis sampaikan. Pertama, pemerintah harus menangani segala penyimpangan dalam prosedur penyeleksian. Selain itu perlu adanya evaluasi berkelanjutan untuk guru yang lulus sertifikasi. Kedua, kepada guru diharapkan untuk ingat dan mengamalkan ajaran mulia tokoh pendidikan kita Ki Hajar Dewantoro “Ing Ngarso Sung Tulodho” (jika di depan harus bisa member teladan).
Memang tidak semua guru yang mengikuti program sertifikasi melakukan kecurangan, tetapi itulah potret suram (sebagian) program mulia bernama sertifikasi. Yang disalah gunakan dalam pelaksanaannya di lapangan. Bagaimana output peserta didik akan baik bila para pendidiknya seperti itu? Dan akan dibawa kemana para penerus bangsa ini?
Sungguh keberhasilan dunia pendidikan di negeri ini bukanlah ditentukan oleh sertifikasi semata, dan pendidik sejati yang diperlukan negeri ini bukan hanya mereka yang telah lulus sertifikasi. Sebab sertifikasi bukan merupakan tolak ukur satu-satunya bahwa dia adalah seorang guru professional. Pendidik sejati adalah guru yang bisa dijadikan teladan oleh muridnya, yang diantaranya tidak mengajarkan kecurangan atau mengahalalkan segala cara untuk mencapai tujuan.
*Penulis adalah pemerhati masalah sosial, Aktif di Sekolah Menulis SEC (SMS) dan Mahasiswa di IKIP PGRI Bojonegoro.

0 komentar:

Posting Komentar