Pages

Kamis, 15 September 2011

Ledre In Love

Awal kisah cinta ini adalah di terminal Rajekwesi. Disaat seorang penjual jajanan Ledre makanan Khas Bojonegoro Akbar Begitu dia disapa bertemu dengan Navisa gadis cantik berjilbab anggun nan kaya raya. Ketika tidak ada seorangpun yang mau membeli Ledre dari Akbar. Dan hanya wanita itu yang menaksir. Gaya berdagangnya memang berbeda. Dia tidak menyembunyikan kekurangan ledre yang dijualnya.
Dia sama sekali tidak menyesali dengan apa yang dilakukannya. Karena dengan begitu dia bisa bertemu dengan Navisa seorang gadis berjilbab yang menjadi penyelamatnya. Ya penyelamat. karena jika hari itu tidak ada yang membeli ledrenya, dia tidak akan dipercaya oleh pemilik Toko karena dia memang masa percobaan. Dia akan dipakai pemilik toko jika dia mampu menjual barang.
“silakan beli ledre ini makanan khas Bojonegoro. Lihat, cuma ada remuk sedikit.” Akbar menawarkan dagangannya kepada para penumpang bis yang mampir di pusat oleh-oleh terminal.
Akbar kikuk mendapati tokonya sudah sesiang ini, baru ada baru ada yang mengunjungi. Yang datang pun bukan sembarangan. Seorang gadis muda bertubuh semampai, dari parasnya sungguh mempesona dan pakaian yang menyilaukan mata. Bermerek terkenal dengan tas senada dan sepatu ber hak tinggi yang pas. Baru kali itu Akbar bertemu dengan gadis secantik itu.
Akbar gegas merayapi wajah perempuan itu dengan bola matanya. Baru kali ini, dia melihat pahatan sempurna tuhan pada wajah perempuan ini. Akbar tidak dapat lagi mengumpama atau mereka-reka. Barangkali inilah bidadari yang sering datang dalam khayalan tertingginya. Akbar masih tertenung oleh pesona tidak berkedip matanya.
Jilbab anggun yang dikenakan membalut kepala hingga dada. Pada jilbab itu terselip hiasan yang makin menegaskan keanggunan. Wajah gadis itu bening, bercahaya. Kedua matanya bulat besar, dengan bulu mata lentik, tak lagi bisa digambarkan indahnya.
“Hei.” Perempuan itu melmbaikan tangan di depan wajah Akbar. “ kamu mau membeli ledre ini?” akbar menawarkan sembari mengemasi perasaan gugup dan serbasalahnya.
Gadis itu diam saja mata besar indahnya merayapi sudut demi sudut toko. Tanpa sedikitpun mempedulikan Akbar perempuan itu masuk begitu saja kedalam kedai. Sekotak ledre yang ditawarkan Akbar sama sekali tidak dihiraukan.
“Apa keunggulan barang-barangmu?” perempuan itu memasang mahkota keangkuhannya. Keyakinan kuno masih dipegangnya bahwa bagaimanapun, pembeli adalah raja.
“Barang-barang yang kujual ini bagus, meskipun memiliki cacat. Tapi, percayalah, cacatnya itu hanya sedikit.”
Gadis itu mengulum senyum. Geli dengan penjelasan pedagang muda didepannya. Sepanjang umurnya baru kali ini dia menjumpai pedagang yang tidak menomorsatukan barang dagangannya.
“Lihatlah.” Nahar Kembali mengangkat sekotak ledre yang telah dibuka bungkusnya. “Ledre ini kelihatan enak bukan.”
Gadis itu mendekapkan tangannya di dada. Dan berlagak hendak menaksir barang yang ditawarka Akbar. Sesekali ekor matanya menikam wajah Akbar penuh Tanya. Dari gurat wajahnya yang keras gadis itu tau Akbar menyimpan keraguan dan kegugupan.
“tapi lihat, ledrenya remuk-remuk gitu nggak utuh,” kata gadis itu datar.
“Matamu indah,” kata Akbar seenaknya. Sungguh. Itu adalah kalimat putus asa yang diucapkannya. Kalimat itu diucapkan karena saking tidak ada lagi cara untuk menaklukkan gadis itu.
“Apa yang kau katakan?” gadis itu bertanya dengan kejut. Keangkuhannya naik ke tingkat lanjut.
“E e eeeeit tidak. Bagaimana, kamu akan membelinya bukan?” Akbar mencoba menetralkan keadaan.
“Aku tidak akan membeli daganganmu bila tidak kau ulangi kata-katamu tadi!” gadis itu mengancam.
“Penuhi dulu janjimu, kalau kamu mendapatkan keterangan dariku, kamu akan membeli Ledre ini.” Nahal tidak kalah rikuh. Malah sempat sempatnya dia pamerkan barisan giginya. Dia terkekeh.
“ayo katakan!” gadis itu sudah putus tali kesabaran hinga kata-katanya meninggi.
“Mata kamu indah.”
Gadis itu terdiam sejenak. Harga dirinya memaksa dirinya untuk tidak lena dengan pujian. Baru saja dia hendak membalas, Akbar sudah membungkamnya dengan sebuah pernyataan.
“Tapi matamu akan indah bila berada pada tempatnya.”
“Maksudmu.” Gadis itu mengerutkan keningnya, hingga kerutannya menumpuk.
“Ini” nahar menyerahkan sebuah cermin.
Perempuan itu makin berkabut bingung.
“Berkacalah. Lalu perhatikan matamu. Apakah kau sepakat denganku kalau matamu memang indah?”
Ajaibnya, gadis itu menurut saja. Diangkatnya cermin itu dan di dekatkannya pada wajahnya.
“Pusatkan pandanganmu hanya pada matamu. Anggaplah Bibirmu yang ranum, pipimu yang kemerahan, hidungmu yang mancung, bahkan seluruh wajahmu tidak ada. Apakah kamu puas dengan mata indahmu saja?”
Gadis itu menghembus napas. Cermin dari Akbar diturunkannya lagi. Tajam matanya menyilet pemuda itu. Dia sudah sampi pada kesadaran bahwa dirinya sedang dipermainkan dan digombali habis-habisan.
“sama halnya dengan ledre ini.”Akbar kembali berbicara sembari mengangkat sekotak ledrenya.”kalau kamu memusatkan pada cacatnya saja, selamanya dia akan begitu. Apakah setelah membeli ledre ini dan memakannya, remuk-remuk ledre ini akan mempengaruhi rasanya? Tentu tidak bukan?”
Tatapan tajam gadis itu menumpul, dia terkesima dengan penjelasan sederhana namun menusuk hati dari pemuda di depannya. Hatinya luluh dan merasakan bisikan tak biasa di dalam hatinya.
“Aku hanya mengatakan yang sebenarnya dari ledre ini. Kalaupun kamu jadi membelinya, kamu sudah tau resikonya. Apakah aku akan mengecewakanmu? Kurasa tidak.”
“Baiklah. Aku akan membeli ledre ini berapa kamu menjualnya?”
“ Dari majikanku, harganya sekian. Silakan kamu lebihkan berapa dari harga dari majikanku.
Gadis itu mengenngguk-anggukkan kepala. Dia kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang kepada akbar. Transaksi itu sudah disepakati dan seketika dia beranjak dari kedai itu.
“ Hei, tunggu!”
“Ada apa lagi? Kamu mau aku memberi seluruh ledre jualanmu?”
“aku hanya ingin kamu tahu, kata-kataku tadi tidak mengada-ada matamu memang indah.”
Gadis itu tersipu. Dia kembali pada fitrahnya, kembali getaran aneh menyelimutinya antara rasa malu dan rasa entah apa. Gadis itu tak bisa mengucapkan kata-kata dari bibirnya hanya anggukan kecil dan senyum tipis menyibakkan bibir indahnya. Dan dia terus saja melangkah anggun tanpa menoleh ke belakang.


0 komentar:

Posting Komentar